Sang Guru Bijak mempunyai banyak murid yang datang dari berbagai latar belakang sosial, etnis dan agama. Tak pernah ia menolak calon murid. Syaratnya harus sungguh-sungguh belajar. Ia kecewa terhadap murid yang malas.
SI PUTIH adalah murid terpandai Sang Guru Bijak. Suatu hari ia ditantang murid yang paling bodoh. “Putih, kalau kamu memang pandai, coba jawab berapa 8 x 3 itu?”
Secara spontan Putih langsung menyebut angka 24.
“Salah”, kata si Bodoh. “Yang benar adalah 23!”
Tak lama kemudian kedua murid tersebut berdebat tiada habisnya. Masing-masing mempertahankan kebenarannya sendiri. Masing-masing berkeras dan tak ada yang mau mengalah. Tak tahan berdebat berkepanjangan, si Bodoh lalu menantang Putih bertaruh, “Begini Putih, seandainya 8 x 3 = 24, kamulah yang benar. Aku rela menggorok batang leherku sendiri. Namun kalau yang benar ternyata 23, kamu harus mencopot topimu”.
Berusaha mencegah pertaruhan itu, Si Putih berkata, “Saudaraku, tiada gunanya pertaruhan ini. Saya tidak mau kamu menjadi korban sia-sia”.
Si Bodoh tetap bertekad meneruskan pertaruhan itu dan bahkan meminta Sang Guru Bijak menjadi wasit. “Apa yang Guru katakan, itulah kebenaran,” lanjut si Bodoh.
Dengan lesu tak bersemangat Si Putih pun terpaksa menuruti permintaan saudara seperguruannya itu. Keduanya lalu menghadap Gurunya dan menceritakan kembali jalannya perdebatan antara mereka. Sang Guru pun tersenyum, mengangguk-angguk lalu berkata bahwa 8 x 3 = 23!
Betapa kecewanya Si Putih. Saat itu respeknya pada Sang Guru merosot ke titik terendah. Ia merasa dibohongi orang yang selama ini begitu dihormati dan dijunjung amat tinggi. Dengan kesal, marah dan amat kecewa, ia lalu membanting topinya. Setengah berteriak Ia pun berkata, “Lebih baik aku pulang ke kampung, hidup dengan kejujuran, keluguan dan kesederhanaan, ketimbang hidup di tengah-tengah kebohongan, kemunafikan dan kepura-puraan.”
Melihat reaksi Putih, Sang Guru tetap saja tersenyum. Lalu dengan suara lembut beliau berkata, “Kalau kamu memang sudah bertekad mundur dan pulang ke kampung, aku tidak bisa mencegah. Namun, kalau kamu masih mau mendengarkan, dengarlah nasihatku ini: sekiranya dalam perjalanan pulang nanti terjadi hujan yang sangat lebat, hati-hatilah. Jangan bernaung di bawah pohon besar, karena pohon itu akan tumbang dan menimpamu.”
Sambil ngedumel tak jelas, Putih pun langsung keluar pergi tanpa sempat mengucapkan kata pamit kepada gurunya. Ia begitu marah dan kecewa. Sifatnya berubah total saat itu.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuaca berubah drastis. Langit yang semula cerah, terang benderang, mendadak berubah hitam pekat. Kilat menyambar-nyambar, guntur berkelebat. Hujan deras pun seolah-olah ditumpahkan dari langit. Hati Putih tercekat dan kala matanya melihat ada sebuah pohon besar di atasnya, secara refleks ia pun menghindar. Pada saat itu pohon besar itu tumbang dengan diiringi suara yang amat gemuruh. Putih bergidik dan menghela nafas. Hampir saja nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Setelah lepas dari kagetnya, Putih pun tersadar bahwa Sang Guru benar-benar bukan manusia sembarangan, tapi manusia luar biasa yang mampu membaca apa yang akan terjadi. Putih pun lantas berbalik kanan. Tidak jadi pulang kampung, tapi kembali lagi ke rumah Sang Guru, untuk memohon maaf dan mohon diterima kembali sebagai murid Sang Guru Bijak yang ternyata amat arif bijaksana.
Di depan pintu rumah, gurunya ternyata sudah menunggunya sambil tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Putih pun terkesima. Sebelum sempat ia mengucap sepatah kata pun, gurunya berkata, “Putih, Putih, 8 x 3 ya 24! Namun, seandainya tadi kukatakan 8 x 3 = 24, kamu akan menyesal seumur hidupmu. Kamu akan merasa menjadi pembunuh bagi saudararnu sendiri. Sepanjang hayat penyesalan apa pun tidak ada gunanya. Hidupmu akan tersiksa selamanya. 8 x 3 = 24 hanyalah kebenaran kecil, kebenaran matematis. Namun 8 x 3 = 23 dalam konteks tadi adalah Kebenaran Besar, karena menyangkut nyawa manusia. Nyawa saudaramu sendiri.”
Sang murid terperangah dan menunduk malu. “Ingatlah muridku, hidup ini penuh warna. Setiap warna mempunyai arti tersendiri. Namun, tidak semua bisa dibaca dengan mata biasa. Harus dibaca dengan kejernihan mata hati, kebesaran jiwa, kelapangan dada. Kalau hanya soal hitam putih, semua orang pasti bisa membedakannya. Ka1au sudah beraneka warna, sungguh sulit dan rumit untuk mengatakan manakah yang lebih indah, mana kurang baik. Demikian pula soal kebenaran. Dengan mudah, jelas, Ia akan mudah dibedakan dengan kejahatan. Namun, acapkali persoalannya menjadi kabur kala kebenaran versi satu berhadapan dengan versi lainnya. Di sinilah kejernihan mata hati yang harus menentukan. Renungkanlah muridku.”
Putih pun merenung, belajar dan belajar. Pada akhirnya, jadilah dia murid terbaik dari semua murid Sang Guru Bijak. Sayang Putih berumur pendek. Kematiannya di usia muda amat mendukakan Sang Guru, yang sudah menggadang-gadangkannya menjadi penerusnya.
Sumber : Pontianak Pos
Kamis, 15 Juli 2010
8 x 3 = 23!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar