Jumat, 24 Desember 2010

Inilah Kunci Didalam Belajar

Orang China kuno percaya belajar dengan ketekunan dan menekankan kegigihan serta konsistensi dalam belajar. Tidaklah tepat apabila giat belajar satu hari dan bermalasan untuk 10 hari berikut
Orang China kuno percaya belajar dengan ketekunan dan menekankan kegigihan serta konsistensi dalam belajar. Tidaklah tepat apabila giat belajar satu hari dan bermalasan untuk 10 hari berikutnya.


Konon dapat dikatakan rajin belajar adalah ukuran moralitas dalam menimba ilmu. Ketika orang ingin maju dengan usaha terbaiknya, mereka akan berhasil meraih tujuannya. Sama seperti pepatah tua yang mengatakan: Membaca buku 100 kali, Anda akan secara alami memahami artinya. Berikut adalah dua buah cerita mengenai orang kuno yang memahami makna belajar.

Rajin dan konsisten

Selama era Dinasti Dong Jin (317-420M), ada seorang penyair terkenal bernama Tao Yuanming yang juga merupakan seorang bangsawan dan sarjana yang tahu banyak hal. Suatu kali seorang pemuda berkata kepadanya, “Saya mengagumi Anda karena begitu tahu banyak hal. Maukah Anda memberi tahu saya cara terbaik untuk belajar?”

Tao Yuanming menjawab, “Tidak ada cara terbaik. Jika kamu bekerja keras, kamu akan mendapat kemajuan, dan jika kamu bermalasan, maka kamu akan tertinggal di belakang.”

Ia membawa pemuda tersebut dan menuntunnya ke sebuah lahan. Yuanming menunjuk ke arah biji kecambah kecil dan berkata, “Lihatlah dengan cermat. Dapatkah kamu melihat apa yang tumbuh di sana?”

Pemuda itu menatapnya dalam waktu lama dan kemudian berkata, “Saya tidak dapat melihatnya tumbuh.”

Tao Yuanming bertanya, “Benarkah? Lantas bagaimanakah biji kecambah menjadi begitu tinggi di kemudian hari? Pada kenyataannya, kecambah itu tumbuh setiap saat. Bagaimanapun juga, kita tidak dapat melihatnya dengan mata kita.

“Sama seperti prinsip dalam belajar. Pengetahuan kita terakumulasi sedikit demi sedikit. Terkadang bahkan kita tidak menyadarinya, namun apabila kita belajar terus-menerus, maka akan membuat kemajuan luar biasa.”

Tao Yuanming kemudian menunjuk pada sebuah batu pengasah pisau di samping sungai dan bertanya kepada pemuda itu, “Mengapa sisi cekung pada batu menurun seperti sebuah pelana kuda?”

Pemuda itu menjawab, “Itu karena orang menggunakannya untuk mengasah pisau setiap hari.”

Yuanming kemudian bertanya, “Lalu tepatnya di hari apa berbentuk seperti ini?” Pemuda itu lalu hanya menggelengkan kepalanya. Tao Yuanming berkata, “Karena para petani telah menggunakannya setiap hari. Sama halnya dengan belajar. Dengan belajar terus setiap saat akan mengasah intelektual Anda.”

Pemuda tersebut akhirnya mengerti. Ia berterima kasih kepada Tao Yuanming, kemudian menuliskan kalimat berikut untuknya, “Belajar dengan rajin adalah seperti sebuah kecambah di musim semi. Meskipun kita tidak dapat melihat pertumbuhan sehari-harinya, pada akhirnya tumbuh jadi besar. Belajar terus-menerus adalah seperti menggunakan batu pengasah pisau. Pengetahuan Anda akan semakin tajam setiap saat, tidak hanya dalam sekejab.”


Kokoh seperti Pohon

Gu Yewang dari Dinasti Selatan dan Utara (420-589 M) adalah seorang sejarawan terkenal. Pengetahuannya luas di banyak bidang. Banyak orang datang kepadanya untuk bertanya.

Suatu hari, anak salah seorang kawannya, Hou Xuan bertanya kepadanya, “Anda telah membaca banyak naskah. Saya ingin bertanya apakah ada jalan pintas dalam belajar.”

Setelah berpikir sejenak, Gu Yewang menunjuk pada sebuah pohon rindang dan menjawab, “Jika kamu ingin mengetahui jalan pintasnya, kamu harus melihat ke pohon ini.”

Hou Xuan melihat pohon tersebut dari atas hingga bawah sebanyak tiga kali namun tetap tidak

menemukan apa-apa yang tidak wajar. Kemudian Ia berkata, “Saya terlalu buta untuk melihat segala sesuatunya. Tolong bimbing saya.”

Gu Yewang berkata, “Dengan akar-akarnya, pohon dapat tumbuh tinggi dan kokoh. Hanya dengan batang pohon yang besar dan kokoh, pohon dapat tumbuh dengan dedaunan yang lebat. Hanya dengan cita-cita yang mulia dan kuat, dipercaya akan memiliki satu masa depan yang cerah. Ambil pohon sebagai contohnya, kuat dan pasti. Itulah kuncinya.”


Setelah itu, Hou Xan belajar dengan sabar dan meningkat dengan cepat. Teman-temannya menyadari Ia begitu akrab dengan buku-buku dimana ia dapat membacakan untuk mereka dari belakang ke depan. Lalu mereka bertanya kepadanya mengapa ia masih juga membacanya.

Hou Xuan menjawab, “Tidak ada jalan pintas dalam belajar. Segala sesuatu ada saatnya harus melangkah satu langkah. Saya masih belum dapat memberi penjelasan terlalu banyak prinsip dan arti yang lebih dalam dari buku-buku tersebut. Oleh karena itu, saya butuh untuk meninjau mereka kembali untuk belajar segala sesuatu yang baru setiap saat.”

Orang kuno percaya bahwa belajar adalah sebuah proses untuk memperbaiki moral seseorang dan kunci belajar terdapat pada kerja keras dan belajar terus-menerus.

Nabi bersabda, " Belajar dan selalu dilatih, tidakkah itu menyenangkan? Kawan-kawan datang dari tempat jauh, tidakkah itu membahagiakan? Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesali; bukankah ini sikap seorang Kuncu?"

(Sabda Suci I : 1)


"Memang ada hal yang tidak dipelajari, tetapi hal yang dipelajari bila belum dapat janganlah dilepaskan; ada hal yang tidak ditanyakan, tetapi hal yang ditanyakan bila belum sampai benar-benar mengerti janganlah dilepaskan; ada hal yang tidak dipikirkan, tetapi hal yang dipikirkan bila belum dapat dicapai janganlah dilepaskan; ada hal yang tidak diuraikan, tetapi hal yang diuraikan bila belum terperinci jelas janganlah dilepaskan; dan ada hal yang tidak dilakukan, tetapi hal yang dilakukan bila belum dapat dilaksanakan sepenuhnya janganlah dilepaskan.

Bila orang lain dapat melakukan hal itu dalam satu kali, diri sendiri harus berani melakukan seratus kali. Bila orang lain dapat melakukan dalam sepuluh kali, diri sendiri harus berani melakukan seribu kali."

(Tengah Sempurna XIX : 20)

Read More......

Rabu, 01 Desember 2010

Belajar Menjadi Manusia

Oleh: Makin Pak Kik Bio

PROF. Dr. Tu Weiming pernah mengunjungi Indonesia untuk memberikan ceramah dan seminar diberbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Prof. Dr. Tu Weiming adalah seorang profesor dalam bidang sejarah dan Filsafat China dan Konfuciani.

Dalam ceramahnya di berbagai tempat, Prof. Tu Weiming selalu menekankan bagaimana belajar menjadi manusia. Belajar menjadi manusia harus dipahami sebagai sebuah proses dinamis tiada akhir dari sebuah pembinaan diri. Pembelajaran ini tidak sekedar sebagai pengembangan ketrampilan professional atau pemahaman terhadap pengetahuan tertentu saja. Pembelajaran ini mempunyai tujuan memberi apresiasi secara menyeluruh terhadap berbagai dimensi kemanusiaan seseorang.

Belajar menjadi manusia tidak terjadi dengan begitu saja. Proses tersebut membutuhkan keputusan dan komitmen pribadi. Tanpa adanya usaha secara sadar, kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tidak akan mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri kita. Karena itu, kita harus meyakinkan diri kita sendiri pada proses pembelajaran secara moral dan spiritual untuk menjadi manusia sebagai titik awal memulai hidup yang panjang menuju manusia seutuhnya.
Proses pembelajaran ini harus berkesinambungan. Proses tersebut tidak dapat dipahami sebagai sebuah proyek atau program yang dapat mencapai kesempurnaannya pada kurun waktu tertentu. Bahkan dapat dikatakan proses pembelajaran menjadi manusia ini tidak pernah berakhir.
Proses tersebut bersifat holistik atau menyeluruh. Belajar menjadi manusia bukanlah sesederhana mempelajari satu ketrampilan profesi tertentu atau menjadi professional dalam satu tugas tertentu. Kita tahu benar bahwa menjadi musisi atau artis itu melibatkan banyak penguasaan, ketrampilan dan teknik yang baik. Pencarian bakat musik atau keartisan tentunya memerlukan seleksi kepribadian. Sebagai bahan bandingan, belajar mejadi manusia seutuhnya memerlukan sebuah transformasi kepribadian secara total dalam hal etika dan keberagamaan.
Kongzi mendifinisikan pembelajaran otentik sebagai “belajar demi kepentingan diri.” Sekilas kita menangkap kesan adanya semangat individualisme ekstrim dan idealisme subjektif dari apa yang diungkapkannya. Tetapi kesan itu akan segera hilang kalau kita kemudian menyadari bahwa yang dimaksud “diri” bukanlah diri atomistik sebagaimana dipahami oleh tradisi Barat. Diri adalah sesuatu yang niscaya dibentuk dalam pola relasi. Setiap relasi yang dijalin dengan lingkungan di luar dirinya, adalah bagian dari perkembangan dan pembentukan “diri’. Diri adalah kumpulan dari hubungan-hubungan tersebut. Diri adalah suatu yang selalu terbuka. Karena itu diri niscaya berdialog dengan manusia lain secara berkesinambungan.
Untuk lebih bermakna, pengembangan diri perlu melibatkan pengalaman dan refleksi terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Setidaknya ada lima bidang pengalaman dan perhatian manusia dalam budaya yang diwarisinya, yang merupakan faktor sangat penting bagi proses pembelajaran menjadi manusia:
Pertama, adalah sanjak. Dalam Kitab Sanjak/Shi Jing, sanjak diartikan lebih luas menjadi ekspresi kesenian pada umumnya. Seni merupakan ekspresi jiwa manusia dalam bentuk estetik ketika manusia berhubungan dengan alam. Kemampuan merespons dunia dalam bentuk puitis, dianggap sangat penting bagi pengembangan diri.
Kedua, adalah aspek ritual. Dalam Kitab Kesusilaan/Li Jing, ritual dimaksudkan sebagai aspek latihan ritualisasi raga dan kedisiplinan yang integral dalam kehidupan. Diri dilatih bagaimana melakukan tindakan sehari-hari yang biasa dilakukan dalam kehidupan dengan orang lain. Menyapu, makan, duduk, berkomunikasi, bersembahyang dan lain-lain adalah sebentuk ritual yang sangat penting dalam pembentukan diri.
Ketiga adalah Sejarah yaitu memori kolektif berkaitan dengan asal-muasal kita sebagai manusia. Mempelajari sejarah berarti mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ide-ide utama yang dianut oleh manusia masa lalu di mana kita sekarang menjadi bagian di dalamnya. Pemahaman seperti itu oleh Kongzi dituangakan dalam Kitab Chun Qiu/ Chun Qiu Jing.
Keempat pandangan politik. Manusia juga harus berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Karena itu politik menjadi tak bisa dihindari. Manusia adalah mahluk politik yang harus berpartisipasi secara bertanggungjawab dalam kehidupan politik masyarakat. Pandangan partisipasi politik diartikulasikan dalam Kitab Hikayat/ Shu Jing.
Kelima manusia tentu tidak bisa dilepaskan dari alam dan dunia, tempatnya hidup. Pandangan positif terhadap kosmos (alam) menjadi penting bagi pembentukan diri. Inilah aspek terakhir ajaran Konfusius yang bisa ditemukan dalam Kitab Perubahan / Yi Jing ( I Ching).

Sumber : Pontianak Post

Read More......

Satu yang Menembusi Semuanya

Oleh : Makin Pak Kik Bio

PADA suatu kesempatan ketika Nabi Kongzi berbincang-bincang dengan Cingcu/Zengzi tentang azas “Satu yang menembusi semuanya” ternyata Cham nama kecil Zengzi, mampu mengerti apa yang dimaksud dengan satu menembusi segala, yaitu Zhong Shu/Satya dan Tepaselira.

Nabi bersabda: ”Cham, ketahuilah, Jalan Suciku itu satu, tetapi menembusi semuanya.” Zeng Zi menjawab: ”Ya, Guru.” Setelah Nabi pergi, murid-murid lain bertanya, “Apa maksud kata-kata tadi ?” Zengzi menjawab: ”Jalan suci Guru, tidak lebih tidak kurang ialah Satya dan Tepasarira.”Karena ini pulalah Nabi berkenan menurunkan kepada Zengzi ajaran-ajarannya yang merupakan penguraian tentang pembinaan diri berdasarkan Satya dan Tepaselira/ Tiong Si/ Zhong Shu ini. Oleh Zengzi kemudian uraian-uraian tadi dibukukan menjadi Kitab Thay Hak/ Da Xue.

Ajaran Satya dan Tepaserira ini disebut oleh Nabi Kongzi sebagai “Jalan Suci Yang Satu Menembusi Semuanya”, karena dalam ajaran ini Satya, vertikal menjalin manusia kepada Tuhan, Khaliknya. Tepaserira, horizontal menjalinkan manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya.Satya mempunyai pengertian imani, suatu rasa, tuntutan untuk selalu Satya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menjadikan kita manusia dengan kodrat kemanusiaannya. Bila terimani, bahwa Firman Tuhan/ Tian Ming itulah Watak Sejati/ Xing manusia dan benih Kebajikan/De, yang bersemi dalam hati nurani/ Xin, itulah pokok Watak Sejati/ Xing, yang merupakan hakekat dari kemanusiaan kita. Maka manusia yang telah dikaruniai kelebihan mulia dan utama itu mengemban tugas menegakkan Firman Tuhan/Tian Ming sebagai rasa “pertanggung-jawaban”/Zhong Yi Tian atas harkat manusiawinya.

Dari karakter huruf Zhong/ Satya, mempunyai arti suatu perilaku yang tengah-tepat, berlandaskan suara hati nurani, dengan mewujudkannya dalam segala tindakan. Manusia di dalam hidupnya secara rohaniah memang terpanggil untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal umat Khonghucu, pengabdian ini merupakan pengejawantahan Satya/ Zhong manusia kepadaNya. Oleh karena itulah maka secara imani manusia terdorong pada kecenderungan mengadakan “persembahyangan” dengan segala ritualnya, untuk mencurahkan isi pengabdiannya terhadap Tuhan. Untuk itu sering disertai dengan bersuci-diri, agar “persembahyangan” nya itu berkenan kepadaNya.
Hal tersebut sudah ada sama lamanya dengan sejarah kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Hanyalah kemudian karena disesuaikan dengan alam pikiran manusia, maka persembahyangan itu perkembangannya lalu disertai dengan bermacam-macam tata-cara, ditambah dengan pengorbanan, persembahan, syarat-syarat, dan lain sebagainya. Hal ini kadang-kadang dapat merubah panggilan imani yang tadinya secara murni keluar dari hati nurani manusia untuk mengadakan persembahyangan berdasarkan kesucian lahir-batin, menjadi suatu tradisi pantulan dari pikiran manusia, yang pada akhirnya kadang-kadang sampai melupakan pokok dari pengabdian itu. Manusia mengadakan lembaga keagamaan dengan segala tata-ibadahnya. Ada yang bersumber dari Kitab Suci namun tak kurang yang berdasarkan tradisi. Bahkan ada yang berlandaskan wangsit atau apapun namanya dari orang tertentu yang suci/ dianggap suci/ menganggap dirinya suci.
Maka dari segala gejala seperti di atas itulah mengapa dalam agama yang diturunkan kepada manusia melalui para Nabi utusanNya, selalu ada suatu ritual persembahyangan pula. Namun karena kebauran antara mana yang agamis dan mana yang tradisional, serta mana yang tak benar, pokok pengabdian dari “persembahyangan” itu dikembalikan/ diluruskan pada dasarnya, yaitu kesucian diri lahir batinlah yang menjadi syarat utamanya, agar persembahyangan manusia berkenan kepadaNya.

Kesucian lahir batin dalam iman umat Khonghucu memang sudah ditetapkan apa yang berkenan kepadaNya, yakni Kebajikan. Sedang benih kebajikan itu bersemi di dalam hati nurani. Dimana watak sejati yang difirmankan Tuhan itu berada, jadi sesungguhnya “persembahyangan” kepada Tuhan itu harus didasari dengan pengamalan FirmanNya. Dan itu, tentu adalah menetapi kodrat kemanusiaan.Dengan begitu bukankah merupakan sikap Satya kepada Tian/ Tuhan Yang Maha Esa.Zigong bertanya,”Adakah satu kata yang boleh menjadi pedoman sepanjang hidup?” Nabi bersabda,”Itulah Tepaserira,” Apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain.” Lun Yi XV : 24 “Maka kata-kata yang tidak senonoh itu akan kembali kepada yang mengucapkan, begitu pula kekayaan yang diperoleh dengan tidak halal itu akan habis tidak keruan.” Da Xue X : 10.Tepasarira adalah merupakan wujud dari pengejawantahan Firman Tuhan terhadap sesama dan lingkungannya yang akan dijelasan dalam tulisan berikutnya.

Sumber : pontianak Post

Read More......