Jumat, 27 Agustus 2010

Bubur Encer Tertumpah

Oleh Budi S

DALAM pengembaraannya yang panjang, tak jarang Sheng Ren Kong Zi dan murid-muridnya terlantar dan kesulitan makanan. Apalagi di masa itu sering terjadi paceklik dan musim kering berkepanjangan.

Pernah suatu ketika mereka tiba di sebuah perkampungan yang sepi, jarang penghuninya. Seluruh anggota rombongan sudah sangat kelaparan. Hampir dua hari mereka belum mendapatkan makanan secuil pun.
Beruntung ada seorang petani yang berbaik hati menolong mereka. Meski musim paceklik dan stok berasnya tinggal sedikit, si petani masih mau menolong memberikan segantang beras. Kong Zi pun mengucapkan terima kasih dan kemudian menyuruh Yan Yuan untuk membuat bubur encer, agar beras yang cuma segantang itu bisa dinikmati seluruh anggota rombongan yang berjumlah cukup banyak.
Segera Yan Yuan dan saudara seperguruannya berbagi tugas. Yan Yuan menyiapkan alat masak. Saudaranya yang lain sibuk mencari kayu bakar. Setelah kayu bakar cukup tersedia, mulailah Yan Yuan memasak di dapur, yang berada di bagian belakang rumah Sang Petani. Sambil menunggu buburnya masak, Kong Zi mengajar murid-murid yang lain di halaman depan rumah. Yan Yuan sendirian di dapur, memasak dan menyiapkan makanan untuk semuanya.
Bubur encer itu pun mulai matang. Saking encernya, cukup banyak yang meluber dan tertumpah. Yan Yuan pun lalu mengambil inisiatif. Tumpahan bubur itu lalu dikumpulkan di mangkuk dan dimakannya. la merasa sayang, karena jumlah buburnya meski sudah dibuat seencer mungkin, tetap tidak sebanding dengan jumlah saudara seperguruannya. Daripada ada bubur yang mubazir terbuang percuma, Ia rela mengalah mengambil jatah bubur yang tertumpah dan sedikit kotor.
Saat Yan Yuan sedang memakan buburnya, Kong Zi yang sengaja masuk ke belakang untuk mengecek tugas muridnya, melihat Yan Yuan sedang makan bubur. Betapa kecewanya Sang Guru. Murid yang paling pintar, paling dikasihi, yang dianggap paling tahu tata krama, tata susila, telah berani makan bubur tanpa izin dan bahkan berani mendahului guru dan saudara-saudaranya.
Yan Yuan terdiam ketika Sang Guru Besar memarahinya. Rasa hormatnya yang amat tinggi membuatnya tak berani membantah. Namun, Kong Zi bisa membaca wajah Yan Yuan. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan murid kesayangannya itu. Dalam hatinya ia pun ragu bahwa Yan Yuan berani melakukan tindakan tak terpuji. Dengan lembut Ia berkata, “Yan Yuan, adakah sesuatu yang ingin kamu sampaikan? Bicaralah yang jujur, terus terang dan apa adanya.”
Setelah memberi hormat kepada Sang Guru, Yan Yuan menerangkan keadaan yang sebenarnya. Kong Zi pun menyesalinya. Dengan jiwa besar, Sang Guru Agung itu minta maaf kepada muridnya. Kong Zi telah salah sangka menilai murid terbaiknya itu. Meski telah melihat dengan mata kepala sendiri, menyaksikan sendiri secara langsung, namun yang dilihatnya hanyalah sepotong peristiwa. Hanya sebagian kecil dari sebuah rangkaian peristiwa yang utuh.
Sang Bijak pun tersadar dan berujar, “Mendengar sesuatu dari orang lain, jauh dari cukup. Mendengar sendiri, masih juga belum cukup. Melihat dengan mata kepala sendiri pun, jika hanya sebagian, belumlah cukup. Bahkan terkadang bisa sangat berbahaya. Maka seorang Junzi (insan beriman dan berbudi luhur), selalu meneliti hakikat perkara.”
“Guru, seorang yang sangat bijaksana seperti Sheng Ren Kong Zi pun ternyata masih bisa keliru. Mengapa hal itu bisa terjadi?” tanya Sang Putra Mahkota pada Gurunya. “Seorang nabi, seorang besar, seorang bijaksana, tidaklah serta merta terlahir sempurna. Ada sebuah proses yang harus dilalui. Namun di sinilah letak perbedaannya. Perjalanan seorang Junzi dari bawah ke atas. Sementara Xiao Ren (orang yang rendah budi) dari atas ke bawah”, jawab gurunya. “Mengetahui diri bersalah dan kemudian mau dan berani mengoreksi diri, itu belum merupakan kesalahan. Bersalah tetapi tidak mau mengoreksi diri dan tidak mau belajar, itulah kesalahan yang sesungguhnya. Ingatlah baik-baik hal itu muridku. Contohlah Sheng Ren Kong Zi. Meskipun keagungannya terkenal beribu-ribu mil jauhnya, namanya harum beribu-ribu tahun lamanya, namun beliau tetap rendah hati. Berjiwa ksatria dan berani mengakui diri kalau keliru, mengoreksinya dan sekaligus berani memohon maaf secara terbuka. Itulah sikap dari orang yang sungguh-sungguh besar dan sempurna”, nasihat Sang Guru Bijak kepada muridnya, Sang Putra Mahkota.
“Muridku, suatu saat engkau akan menjadi pemimpin, menjadi raja yang dihormati orang banyak. Jadilah engkau raja yang besar. Besar dalam artian yang sesungguhnya. Bukan sekadar berprestasi dan mampu membawa bangsa menuju keagungan belaka, tapi besar juga sebagai pribadi. Terus belajar, melakukan introspeksi diri setiap hari. Berani secara terbuka mengakui kekurangan dan berani pula untuk meminta maaf terhadap rakyat kecil sekalipun.”
“Muridku, tirulah Kong Zi. Besar bukan karena kebijaksanaannya belaka, tapi besar pula karena kerendahan hati dan keberaniannya meminta maaf,” nasihat penutup Sang Guru kepada murid terkasihnya.**

BUNGA TANG DI

Bunga Tang Di banyak dikagumi orang karena keindahan, keharuman dan sekaligus keunikannya. Bentuknya mirip bunga Melati, berwarna putih, sejenis dengan pohon Plum atau Cherry. Bunga ini ada di negeri waris Raja Suci, Nabi Purba Tang Yao. Bunga Tang Di sangat unik, selalu bergoyanggoyang meskipun tidak ada angin.
Suatu ketika Sheng Ren Kong Zi membaca sebuah tulisan, “Betapa elok dan indahnya bunga Tang Di. Selalu bergoyang-goyang menarik. Bukan aku tidak mengenangmu, hanya tempatmu terlampau jauh”.
Membaca tulisan inI Kong Zi berkata-kata pada murid-muridnya, “Sesungguhnya si penulis tidak bersungguh-sungguh. Kalau ia benar-benar memikirkannya, apa artinya jauh?”
Perkataan Kong Zi yang kelihatan sederhana itu sebenarnya mempunyai makna yang teramat dalam. Disadari atau tidak, kita juga sering mempunyai sikap seperti si penulis.
Menggebu-gebu kalau punya keinginan, namun semangat untuk mewujudkannya kurang dan bahkan terus merosot. Bercita-cita setinggi langit, namun tidak ada rencana, tindakan dan kerja nyata untuk sungguh-sungguh mewujudkannya, akhirnya semua akan berakhir dalam bentuk wacana.
“Ingatlah muridku, seandainya kamu melangkah, betapapun jauhnya jarak semula, meski sedikit pasti akan berkurang jaraknya. Namun kalau kamu hanya berdiam diri saja di tempatmu, jarak itu tidak akan terkurangi. Seorang yang ingin mendaki gunung sampai ke puncaknya, namun merasa berat dan hanya bicara, puncak yang dilihatnya tinggi itu tetap tidak akan berubah ketinggiannya. Jika orang itu mau bekerja, mau melangkah, meskipun cuma setindak, maka ketinggian puncak gunung itu pun akan terkurangi, meski juga cuma setindak. Demikian pula dengan keinginan dan cita-cita, Ia tetap tak berarti, tanpa upaya mewujudkannya.”
“Murid paham apa yang Guru katakan. Namun, terkadang hati ini menjadi tak yakin untuk mencapai suatu angan atau cita. Apa yang sebaiknya murid lakukan bila merasa seperti itu? Mohon Guru dapat memberikan petunjuk”, pinta Sang Murid kepada gurunya yang baru saja membacakan sepenggal episode kehidupan Sheng Ren Kong Zi.
“Ada dua langkah yang perlu kau lakukan, Muridku. Yang pertama, berpikirlah realistik. Seorang Junzi (beriman, terpelajar, berbudi luhur) tidak berangan-angan kosong. Cita-cita memang boleh setinggi langit, namun akal sehat juga wajib digunakan. Seorang yang buntung kakinya dan ingin menjadi pelari nomor satu, jelas Ia berangan kosong.”
“Namun kalau kemudian Ia berjuang dan berpikir keras menggunakan kecerdasannya untuk bisa menciptakan kendaraan paling cepat, itu artinya Ia tidak menyerah dan mau berusaha keras untuk mewujudkan cita-citanya. Di sini cita-cita semula menjadi pelari tercepat memang telah bergeser menjadi pencipta kendaraan tercepat. Meski telah bergeser, maknanya tetap sama, yaitu menjadi yang tercepat. Kalau ini bisa dilakukan, artinya dia melakukan hal yang kedua, yaitu bekerja keras tanpa mengenal arti kata menyerah.”
Mendengar penjelasan gurunya, Sang Murid berkata, “Guru, kalau murid boleh simpulkan, dalam mengejar cita-­cita kita harus berpegang pada dua hal, yaitu: realistis dan pantang menyerah. Artinya kita harus berani mengoreksi atau meredefinisi cita-cita kita, seandainya dirasakan tidak realistis. Di sisi lain kita harus tetap gigih pantang menyerah berjuang sungguh-sungguh. Apakah benar demikian Guru?”
“Tepat muridku. Pikirkan baik-baik kelayakan sebuah cita-cita. Kemudian berjuanglah sekuat tenaga untuk me­wujudkannya dengan cara yang benar, cara yang terpuji, cara yang terhormat. Yakinkan diri sendiri bahwa kamu bisa, kemudian berusaha dan bekerjalah sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Dalam prosesnya, hal itu bisa dilakukan sendiri atau dengan bantuan dan dorongan orang lain.”
“Bagaimana dengan peranan doa, Guru?”, tanya Sang Murid.
“Inti dari doa sebenarnya ada dua. Yang pertama adalah komitmen diri tentang sesuatu, yang disampaikan atau diprasetiakan ke Hadirat Tuhan. Kedua doa sesungguhnya merupakan bentuk permohonan untuk memperoleh spirit, semangat atau bantuan spiritual dari Sang Maha Pencipta.” “Murid belum memahaminya Guru.’
“Doa adalah komitmen. Ketika kita berdoa, sesungguhnya kita sedang berjanji kepada Tuhan untuk bekerja keras mewujudkan apa yang kita sampaikan dalam doa. Bila kita berdoa agar anak kita menjadi pintar dan sukses, sesungguhnya kita sedang berjanji kepada Tuhan untuk bekerja keras mendidik anak kita, sekuat tenaga. Agar ia menjadi anak yang pintar dan sukses. Itu maksudnya. Bukan kita lantas berdiam saja, pasrah tanpa usaha dan meminta Tuhan untuk menurunkan keajaiban dan mukjizat-Nya agar anak kita menjadi pintar tanpa harus berusaha sama sekali.”
“Kedua, karena doa disampaikan kepada Sang Maha Pencipta atau Sang Maha Kuasa, pemegang otoritas tertinggi di jagat raya, maka secara spiritual kita juga memohon diberi spirit, semangat atau energi agar mampu berjuang keras mewujudkan apa yang kita inginkan.”
“Terima kasih, Guru. Terima kasih.

Sumber : Pontianak Post

0 komentar:

Posting Komentar