Kamis, 15 Juli 2010

Cita-Cita Sederhana

NABI Khongcu pada usianya yang ke 50-an mengadakan pengembaraan ke berbagai Negara selama 13 tahun, semasa hidupnya pada jaman Chun Chiu (+/- 500 SM).

Dengan tujuan untuk menyebarkan ajaran “dengan Kebajikan melayani masyarakat, dimulai dari pembinaan diri yang selaras watak sejati, merukunkan keluarga, bertenggang rasa kepada sesama, mengasihi masyarakat, mensejahterakan Negara, dan turut mendamaikan dunia.” Sebagaimana tertulis dalam kitab Cung Yung/ Tengah Sempurna: “Firman Tuhan itulah dinamai Watak Sejati manusia, hidup mengikuti Watak Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci, bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai Agama.” Dan didalam kitab Da-Xue/ Ajaran Besar tertulis: “Inti ajaran Da-Xue adalah menggemilangkan Kebajikan yang bercahaya, mengasihi rakyat, dan bertahan pada puncak kebaikan.”

Selama pengembaraan Beliau, berbagai pengalaman dan sabda-sabda Nya dibukukan oleh murid-muridnya ke dalam kitab suci Lun Yu / Sabda Suci (satu bagian dari kitab suci Se-Su/ Kitab yang Empat). Salah sebuah kisah perjalanan Nabi Khongcu yang cukup populer yang dicatatkan juga dalam San Ce Jing adalah Suatu ketika rombongan Guru dan murid melintasi sebuah desa, menemukan ditengah jalan ada seorang anak kecil berusia 7 tahun bermain benteng-bentengan dari tanah, menghalangi lintasan kereta kuda tumpangan Nabi Khongcu.

Lalu seorang murid menghampiri anak kecil yang bernama Xiang-Tuo itu, bermaksud memintanya minggir. Xiang-Tuo berargumen, “Ini adalah benteng saya, menurut logika, kereta kuda yang mengitari benteng, atau benteng yang menghindari kereta kuda?” Argumentasi tersebut disampaikan ke Nabi, lalu Nabi tertarik dan turun dari kereta kuda menghampiri anak kecil itu. Xiang-Tuo kembali berkata: ”Saya bersedia minggir, tetapi Tuan harus menjawab beberapa pertanyaan saya.” Dan Nabi menyanggupi. Xiang-Tuo memulai dengan pertanyaan: ”Mengapa angsa bisa mengeluarkan suara keras?” Nabi menjawab dengan enteng: ”Karena angsa punya leher yang panjang tentunya.” Xiang-Tuo tidak puas dan menimpali: ”Lalu kodok yang lehernya pendek mengapa juga bisa bersuara keras?” Xiang-Tuo kembali mengajukan pertanyaan: “

Jarak matahari pada pagi atau siang hari, mana lebih dekat ke kita?” Nabi menjawab lagi: ”Karena pagi hari udara terasa sejuk, dan siang hari udara terasa panas, maka matahari siang lebih dekat jaraknya ke kita.” Xiang-Tuo membantah lagi dengan argumennya: ”Kalau begitu kenapa ukuran matahari pagi terlihat lebih besar dibanding matahari pada siang hari?” Nabi tertegun dibuat oleh logika anak kecil itu, dan kemudian Ia pun berdialog cukup lama dengan Xiang-Tuo. Peristiwa ini dicatat oleh murid-murid Nya sebagai sebuah sikap keteladanan Nabi yang rendah hati. Beliau tetap tidak sombong atau menganggap remeh, sebaliknya memperlihatkan sifat ke- Nabi-an nya yang suka belajar dari siapa saja, meski kepada seorang anak kecil jua.

Nabi Khongcu sejak berusia 3 tahun telah kehilangan kasih sayang ayahnya yang meninggal dunia, sehingga masa kecil hidup dalam kemiskinan bersama Ibunda tercintanya, yang sangat bijaksana membesarkan Khong-Chiu (nama kecil Khongcu), dan berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan serta hobby belajar yang sangat kuat dalam diriNya. Semasa kecil Khong-Chiu banyak menderita dan pernah mengerjakan berbagai pekerjaan kasar, sehingga banyaklah keterampilanNya. Sejak usia 15 tahun telah kuat semangat belajarNya. Ia pernah bersabda: ”Aku bukanlah pandai sejak lahir, Aku hanya suka mempelajari kitab-kitab kuno, dan di waktu belajar Aku sampai lupa makan dan minum, di waktu mengajar Aku lupa akan perasaan capai. Cita-cita Ku hanya ingin membahagiakan orang yang sudah lanjut usianya, bersikap dapat dipercaya kepada kawan dan sahabat, dan mengasuh orang muda dengan penuh kasih sayang.”

Meski cita-cita Khongcu nampak sederhana, namun bila kita teliti kedalam diri kita, untuk melaksanakan salah satu saja dari ketiga cita-cita tersebut secara konsekwen, sudah sukarnya bukan main. Dan seandainya ketiga cita-cita tersebut dapat dilakukan setiap orang, tentu dunia akan damai sejahtera. Karena untuk membahagiakan orang tua, berarti kita selain bekerja keras mencukupi sandang pangannya, juga kita wajib menjaga sikap agar tidak mencemari nama baik orang tua. Sebagaimana disabdakan, “Berbakti kepada orang tua ada 3 tingkatan; yang terbesar dapat memuliakan orang tua, yang kedua tidak memalukan orang tua, dan yang paling bawah adalah hanya dapat memberi perawatan…Dengan berbakti kepada orangtua, adalah permulaan berbakti kepada Tuhan” (Kitab Kesusilaan)
Kemudian untuk bersikap dapat dipercaya kawan dan sahabat, berarti kita tepat janji dan suka membantu serta pemaaf. Sementara cita-cita ketiga mengasuh para muda dengan penuh kasih sayang, selain kita wajib mengajari, membimbing serta memberi perhatian, kita juga wajib menjadi teladan yang baik, yang berarti tidak berbuat hal-hal yang melanggar kesusilaan.
Demikianlah meski dengan 3 cita-cita sederhana, kiranya sudah mencakupi segala aspek kehidupan manusia agar hidup didalam Jalan Suci yang diridhoi Tuhan dengan tidak berbuat hal yang diluar kebajikan.
(Js.Drs.Rasmadi, MAKIN Medan-Sumut)

Sumber : Pontianak Post

0 komentar:

Posting Komentar