Kamis, 02 April 2009

Kemanusiaan Yang Universal

Bila cita dan cipta selalu ditujukan kepada Kemanusiaan, sesungguhnya tiada sarang bagi kejahatan. Lunyu IV : 4.

KEMANUSIAAN atau Cinta Kasih itu melekat pada diri tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, dari suku bangsa manapun juga tiada perkecualiannya. Nilai-nilai kemanusiaan ini universal sekali, menembus sekat-sekat agama, ras maupun gender. Hal tersebut dapat dilihat ketika badai tzunami melanda di Banda Aceh, kemudian diliput media elektronik maupun media cetak, rasa simpati datang dari seluruh dunia, banyak orang bersimpati serta mengumpulkan dana sumbangan untuk membantu sesamanya yang terkena musibah. Bahkan ada seorang anak kecil yang memecah celengannya untuk disumbangkan. Itulah Kemanusiaan. Itulah Cinta Kasih, dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Namun di sisi lain, mengapa masih saja terjadi penganiayaan antara seorang manusia kepada manusia lainnya, atau sekelompok manusia kepada sekelompok manusia lainnya?
Perilaku manusia itu dibentuk oleh kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus. Apabila kebiasaan itu adalah hal-hal yang baik maka manusia itu akan mempunyai perilaku yang baik. Apabila sebaliknya maka perilaku manusia itu menjadi tidak baik. Maka apabila cita dan cipta selalu ditujukan kepada Kemanusiaan, Cinta Kasih, maka manusia itu akan memiliki perilaku yang baik lebih kuat dari perilaku yang kurang baik. Oleh karenanya manusia harus senantiasa belajar dan mengembangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Pembelajaran ini dimulai dari diri sendiri kemudian dikembangkan kesekelilingnya.
“Seorang yang berperi Cinta Kasih ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang lainpun tegak; ia ingin maju, maka berusaha agar orang lainpun maju.” Lunyu VI : 30
Kemanusiaan itu bersifat universal tidak terbatas oleh lingkungan tertentu apalagi agama tertentu. Maka pemimpin agama tidak cukup berbicara dengan bahasa agama masing-masing, melainkan juga perlu berbicara dengan bahasa kemanusiaan yang universal sehingga terlibat dalam dialog global dan perdamaian universal. Apalagi dalam sejarahnya tradisi keagamaan telah berperan besar membentuk peradaban. Haruslah dihindarkan pengajaran agama yang eksklusif, menutup diri bahkan mengajarkan fanatisme yang sempit sehingga mempunyai persepsi kebenaran itu hanyalah miliknya sendiri atau tiada kebenaran diluar lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam dialog global, seperti kekerasan, pelestarian lingkungan, bahkan kesetaraan jender, perlu direspons dengan bahasa kemanusiaan. Ini mengingat nilai-nilai bawaan modernisasi yang umumnya berkiblat ke barat itu tidak mencukupi karena kurang sejalan dengan keberlanjutan lingkungan hidup dan solidaritas sosial.
Kemanusiaan sebenarnya terikat erat dengan peningkatan keimanan karena dalam sebagian besar diri manusia tertanam konsep illahi dan duniawi. Illahi sebagai kekuatan terbesar dan dunia sebagai tempat manusia mengambil bagian dalam transformasi sosial. Maka manusia belajar menjadi manusia dan terkoneksi dengan komunitas, alam, sekaligus juga hal-hal yang bersifat illahi. Selain itu, dalam pergaulan global sifat terbuka atau inklusif agama diperlukan. Tanpa inklusivitas, tidak ada dialog atau belajar mendengarkan serta menghargai yang lain. Sebaik apapun suatu agama, temasuk konfusiani, hanya merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup didunia. Untuk itu perlu nilai bersama agar dapat mendengarkan dan menghargai. Nilai bersama yang relevan adalah kemanusiaan, kebenaran, kesusilaan, kebijaksanaan dan kepercayaan serta kedamaian. Nilai-nilai inilah yang harus selalu dikembangkan pada diri setiap insan. Apabila diri ini telah dapat terbina, maka harus dikembangkan didalam keluarga, lebih lanjut dikembangkan kemasyarakat sekitarnya dan kemudian keseluruh negara dan dunia. Haruslah tetap diingat bahwa damai di dunia itu dimulai membina diri terlebih dahulu.
“Adapun yang dikatakan ‘damai di dunia itu berpangkal pada teraturnya negara’ ialah: Bila para pemimpin dapat hormat kepada yang lanjut usia, niscaya rakyat bangun rasa baktinya; bila para pemimpin dapat rendah diri kepada atasannya, niscaya rakyat bangun rasa rendah hatinya; bila para pemimpin dapat berlaku kasih dan memperhatikan anak yatim piatu, niscaya rakyat tidak mau ketinggalan.” Daxue X : 1.
Oleh : Makin Pak Kik Bio
Sumber : Pontianak Pos

0 komentar:

Posting Komentar