Jumat, 17 April 2009

Seorang Buta dengan Lenteranya

Zilu bertanya tentang seorang Junzi (Susilawan). Nabi bersabda, “Ia membina diri dengan penuh hormat.”
“Setelah dapat berbuat demikian lalu bagaimana?”
“Ia membina diri untuk memberi sentosa kepada orang lain.”
“Setelah dapat berbuat demikian lalu bagaimana?”
“Ia membina diri untuk memberi sentosa kepada segenap rakyat. Membina diri untuk dapat memberi sentosa kepada seluruh rakyat, meskipun Giau dan Sun masih khawatir belum dapat melaksanakan dengan sempurna.” Lun Yu XIV: 42.

MEMBINA diri ialah berusaha dengan sepenuh tenaga berbuat kebajikan, meluruskan hati. Diri yang diliputi geram dan marah, tidak dapat berbuat lurus. Yang diliputi takut dan khawatir, tidak dapat berbuat lurus. Yang diliputi suka dan gemar, tidak dapat berbuat lurus. Dan yang diliputi sedih dan sesal, tidak dapat berbuat lurus. Oleh karenanya seorang Junzi (Susilawan) selalu menjaga hatinya agar senantiasa lurus, tidak larut di dalam arus hawa nafsu, ketamakan, maksiat dan selalu menjaga watak sejatinya agar senantiasa harmonis, adanya keseimbangan antara daya hidup duniawi dan daya hidup Illahi. Inilah yang menjadi tujuan agama.
Diawali dengan membina dirinya barulah dapat membina keluarganya, kemudian kelingkungan sekitarnya, lalu keseluruh negara. Seperti halnya lentera orang buta dalam cerita berikut ini, dimulai dari kemauan sibuta sendiri untuk membawa lentera akan membuat sekelilingnya menjadi terang dan tidak saling bertabrakan.
Ceritanya dimulai dari seorang buta yang bertamu ke rumah sahabatnya. Mereka berdua asyik berdiskusi, sehingga tanpa disadari hari sudah gelap. Ketika orang buta itu berpamitan kepada sahabatnya, disarankannya orang buta itu untuk membawa lentera. Orang buta itu tertawa terbahak-bahak, “Apa gunanya lentera itu bagiku, toh aku seorang buta, cahaya lentera itu tak akan menerangi jalan untukku. Lagipula aku telah hafal betul jalan pulang menuju rumahku.” Temannya dengan sabar menjawab, ”Lentera itu tidak saja berguna untukmu, tetapi juga berguna agar orang lain tidak menabrakmu.” Meski dengan menggerutu orang buta itu akhirnya mau menerima dan membawa lentera itu pulang kerumahnya.
Baru berjalan tidak jauh dari rumah temannya, orang buta itu dikagetkan oleh seseorang yang tidak sengaja menabraknya. Dia berteriak marah, “Hei kamu tidak melihat ada orang buta sedang jalan, kamu harus memberi jalan pada orang buta!” Orang buta itu melanjutkan perjalannya, tidak seberapa jauh ia berjalan seseorang pejalan kaki lainnya menabraknya. Kali ini orang buta itu benar-benar marah,” Kamu buta, ya? Apa kamu tidak melihat lenteraku? Aku membawa lentera ini agar orang lain dapat melihatku!” Si Penabrak menjawab, “Kamu yang buta! Apa tidak kau lihat kalau lenteramu itu padam?” Orang buta itu tertegun. Tetapi setelah melihat dengan seksama, si penabrak segera meminta maaf, ”Maaf, aku tadi benar-benar ‘buta’ Aku tadi tidak melihat bahwa anda memang buta.” Orang buta itu menjawab, “Tidak, tidak, akulah yang harus meminta maaf atas kekasaranku tadi.” Keduanya merasa tidak enak hati. Si penabrak kemudian membantu menyalakan lentera itu
Pada saat itu, seseorang lewat, bertepatan dengan saat orang itu akan menabrak kedua orang tersebut, dinyalakan korek api untuk menyalakan lentera. Orang tersebut kaget, ternyata ada dua orang yang sedang berusaha menyalakan lentera, maka dibantunya kedua orang itu menyalakan lentera-lenteranya. Ketiga orang itu kemudian melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Lentera dalam cerita ini ibarat kebajikan yang bercahaya yang terdapat di dalam diri tiap manusia, akan tetapi tidak semua manusia mengetahuinya. Harus ada yang memberikan pencerahan agar sadar bahwa di dalam diri masing-masing manusia memilikinya, seperti kawan sibuta yang menganjurkan membawa lentera dalam cerita tersebut. Hanya dengan membina diri manusia akan dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengamalkan kebajikannya. Dan dengan diri yang telah terbina baru dapat membina keluarganya, memberikan kesentosaan, selanjutnya ke lingkungan sekelilingnya sampai meluas keseluruh alam semesta. Inilah landasan bagi seorang Junzi (Susilawan), oleh karenanya hanya seorang Junzi yang layak memimpin umat manusia.

Oleh Makin Pak Kik Bio.

Sumber: www.pontianakpos.com

0 komentar:

Posting Komentar